Oleh:
Badrul Tamam
Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah
kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para
sahabatnya.
Ciri
akhir zaman, di antaranya, diangkatnya ilmu. Maknanya bukan dicabut secara
langsung dari dada manusia. Namun dengan diwafatkan ulama. Jika sudah tidak ada
ulama yang sesungguhnya, maka manusia mengangkat orang yang jahil sebagai
pemimpin dalam beragama. Mereka meminta fatwa kepadanya. Akibatnya, pemimpin
yang jahil tersebut sesat -karena kejahilannya- dan menyesatkan manusia secara
umum dengan fatwanya.
Demikianlah
realita yang terjadi di masyarakat. Saat kepemimpinan suatu negeri dipegang
orang yang jahil terhadap agama, maka ia diundang dan didaulat memberikan
arahan. Lebih parah lagi yang meminta arahan adalah orang-orang yang dipercaya
umat dalam urusan agama. Bahkan dikaitkan dengan tempat mulia umat Islam, yakni
masjid. Sehingga arahan yang diberikan tentunya jauh dari kebenaran yang
sesungguhnya karena ia orang yang benar-benar tidak menguasai urusan agama.
[Silahkan baca: MUI: Azan Sayup itu Wacana Wapres Saja dan Tak Sesuai Syariat
Islam]
Disunnahkan
Mengeraskan Suara Azan
Adzan
adalah ibadah dan termasuk syi'ar Islam yang masyhur dan teragung. Amalan ini
terus dilaksanakan semenjak disyariatkannya sampai wafatnya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Baik ketika malam maupun siang. Baik ketika
bepergian maupaun bermukim. Tidak pernah terdengar bahwa beliau pernah
meninggalkannya atau memberikan dispensasi untuk tidak mengerjakannya.
Disunnahkan
mengeraskan suara adzan sehingga sampai ketelinga manusia yang belum hadir di
masjid. Baik dengan meninggikan suara atau dengan menggunakan pengeras. Agar
maksud adzan yang sebagai panggilan shalat tercapai. Inilah madhab Syafi'i,
Hambali, dan satu pendapat dari Hanafi. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik
Kamal: I/378)
Diriwayatkan
dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata kepada Ibnu Abi
Sha'sha'ah, "Aku lihat kamu sangat suka dengan kambing dan gurun. Jika
kamu sedang mengembalakan kambingmu atau sedang berada di gurun, maka
kumandangkanlah adzan dengan suara yang keras. Sebab tidaklah jin, manusia atau
benda lainnya mendengarkan suara muadzin, kecuali mereka akan memberikan
persaksiannya pada hari kiamat." Abu Said berkata, "Aku mendengarnya
dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (HR. Al-Bukhari dan
al-Nasa'i)
Imam
Abu Dawud dalam Sunannya menuliskan: "Bab Meninggikan (mengeraskan) suara
saat adzan". Lalu beliau menyebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu
'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ
كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَشَاهِدُ الصَّلاَةِ يُكْتَبُ لَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ
صَلاَةً وَيُكَفَّرُ عَنْهُ مَا بَيْنَهُمَا
"Muadzin
(orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya dan
akan disaksikan oleh semua benda yang basah dan yang kering. Satu orang yang
mendatangi shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima shalat dan diberi
ampunan untuknya antara dua shalat." (Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 7744 dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud,
no. 515)
Maksud
"Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya
sejauh suaranya” adalah muadzin diberi ampunan dengan sempurna dengan
jauhnya suara itu sampai. Makna lainnya, ini sebagai perumpamaan. Jika dosanya
banyak dan mencapai sejauh suaranya itu, maka diberi ampunan untuknya dengan
sebab itu. Ringkasnya, kerasnya suara akan terdengar oleh manusia. Setiap orang
yang mendengar suara adzan lalu terpanggil oleh suara dan panggilan tersebut,
maka muadzin tadi diberi ganjaran dan pahala serta diampuni dosanya dengan
sebab itu.
Maksud
dari "dan akan disaksikan oleh semua benda yang basah dan yang kering",
setiap benda basah dan kering yang suara adzan sampai kepadanya akan menjadi
saksi untuk muadzin pada hari kiamat.
Maksud
"Satu orang yang mendatangi shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima
shalat dan diberi ampunan untuknya antara dua shalat," yakni: orang
yang hadir shalat karena menyambut seruan ini maka muadzin diberi pahala besar.
Baginya pahala 25 shalat dan ampunan antara dua shalat berikutnya dengan sebab
shalat yang dikerjakan tadi.
Sama-sama
dimaklumi, muadzin adalah orang yang menghadiri shalat berjamaah, hadir di
masjid, dan mendapatkan pahala shalat berjama'ah. Di tambah lagi dengan ampunan
yang diperolehnya di antara dua shalat. Maka apa yang diperoleh oleh orang yang
menyambut seruannya, maka ia pun mendapatkannya. Tapi ia mendapat tambahan
karena menjadi sebab datangnya mereka ke masjid.
. . .Mengeraskan adzan menjadi tuntutan. Karena tujuannya
menyampaikan suara nida' (panggilan) kepada manusia. . .
. . .Jika dilantunkan secara pelan dan mendayu-dayu tentu tujuan ini
tidak terwujud. . .
Kesimpulan
Mengeraskan
adzan menjadi tuntutan. Karena tujuannya menyampaikan suara nida' (panggilan)
kepada manusia. Dan ini bisa terwujud dengan benar-benar mengeraskan suara
sampai diyakini telah sampai kepada telinga umat. Jika dilantunkan secara pelan
dan mendayu-dayu tentu tujuan ini tidak terwujud. Terlebih para ulama
menyebutkan, adzan dengan sayup-sayup dan mendayu-dayu termasuk dari kesalahan
dalam adzan.
Syaikh
Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah menyebutkan beberapa kesalahan dan
amal bid'ah dalam azan. Pada urutan pertama disebutkan, "Melagukan dan
meliuk-liukan suara secara berlebihan dalam adzan." (Shahih Fiqih Sunnah:
I/392)
Semoga
tulisan ini menjadi sarana meluruskan wacana yang dihembuskan oleh Wakil
Presiden, -bukan ulama namun berbicara tentang syariat ibadah- tentang anjuran
agar adzan tidak terlalu keras, sebaliknya adzan lebih baik dikumandangkan
dengan sayup-sayup. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar