Senin, 28 Juli 2014

ORANG YANG PALING DEKAT DENGAN RASULULLAH SAW DI HARI KIAMAT

ORANG YANG PALING DEKAT DENGAN RASULULLAH SAW DI HARI KIAMAT


Saudaraku rohimaniyallohu wa iyyakum. Dalam rubrik percikan Iman kali ini kita akan mempelajari bersama tentang orang yang pali dekat dengan Nabi صلى الله عليه وسلم di hari Qiyamat.
Diriwayatkan dari Jabir رضي الله عنه bahwa Rosululloh صلى الله عليه وسلمbersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun. ” Sahabat berkata: “Ya Rosululloh… kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab,“Orang yang sombong. ” (Hadits riwayat Al-Imam At-Tirmidzi.Hadits ini dishohihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shohih Sunan At-Tirmidzi)
Saudaraku yang budiman. Di dalam hadits ini Rosululloh صلى الله عليه وسلم menerangkan bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak kita semakin mulia, niscaya kedudukan kita di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau صلى الله عليه وسلم dibandingkan selain kita. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi صلى الله عليه وسلم pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin رحمه الله تعالىmenerangkan bahwa ma’na tsartsarun adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majlis, dia sering menyerobot pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majlis itu selain dia. Dia berbicara, tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud majlis dalam konteks ini adalah pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majlis ilmu atau pengajian. Sebab jika suatu saat kita mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka lalu kita sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin رحمه الله تعالى menerangkan bahwa maknamutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain, seolah-olah dia adalah orang paling fasih. Itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam. Sebab kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab. Seandainya kita mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab, maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan. Adapun jika kita sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu, maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka tidak selayaknya kita berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi hendaknya kita berbicara dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami, dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing. Artinya janganlah kita menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan. Saudaraku yang budiman, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin رحمه الله تعالى juga menerangkan makna mutafaihiqun: Nabi صلى الله عليه وسلمtelah menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah-olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang dibuat-buat –pent) karena adanya kesombongan di dalam dirinya. Perilaku ini tidak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela. Wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta,kedalaman ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Alloh سبحانه وتعالى ,seyogyanya dia merendahkan hati (tawadhu’).
Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta,ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam sebuah hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak bicara oleh Alloh سبحانه وتعالى dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara mereka adalah:“Orang miskin yang sombong”. Sebab orang miskin tidak mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong…. Sudah semestinya orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Alloh سبحانه وتعالىsemakin meningkatkan syukurnya kepada Alloh سبحانه وتعالى serta semakin tambah tawadhu’ kepada sesama.
Saudaraku yang budiman rohimaniyallohu wa iyyakum. Demikianlah pertemuan kita kali ini, tentang orang yang paling dekat dekat dengan Nabi صلى الله عليه وسلم di hari qiyamat. Insya Alloh kita akan berjumpa kembali dalam edisi dan kesempatan berikutnya. Semoga Alloh سبحانه وتعالى memberikan taufiq kepada kita semua untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik,dan semoga Alloh عزوجل menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang jelek, sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia . والله ولي التوفيق . نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَرْزُقَنَاوَإِيَّاكُمْ الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ

MENELADANI AKHLAQ AS-SALAFUSH- SHOLIH



MENELADANI AKHLAQ AS-SALAFUSH- SHOLIH


Saudaraku rohimaniyallohu wa iyyakum. Dalam rubrik percikan Iman kali ini kita akan mempelajari bersama tentang Meneladani Akhlaq As-Salafush-Sholih.
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang keimanan. ” (Hadits riwayat Al-Imam Al-Bukhori dan Muslim dari Abu Huroirairoh رضي الله عنه , dan ini lafazh Muslim).
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Alloh di mana saja engkau berada. Dan ikutilah perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang baik. ”(Hadits riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari Abu Dzar رضي الله عنه ).
Ibnu Rojab al-Hanbali رحمه الله تعالى mengatakan, “Rosululloh صلى الله عليه وسلم menyebutkan perintah berakhlak secara terpisah, dikarenakan kebanyakan orang mengira bahwa ketakwaan itu hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Alloh سبحانه وتعالى dan tidak berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…” “Dan orang yang menunaikan hak-hak Alloh تعالى sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi dan orang-orang yang shidiq (benar) …” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikamhal. 237)
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh رضي الله عنه beliau رضي الله عنه berkata:Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga. Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Takwa kepada Alloh dan akhlaq mulia. ” Beliau صلى الله عليه وسلم juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau صلى الله عليه وسلمmenjawab, “Mulut dan kemaluan. ” (Hadits riwayat Al-Imam Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi رحمه الله تعالى membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush Sholihin yang berjudul Bab Husnul Khuluq(Akhlaq mulia). Maksud penyusunan bab ini oleh beliau رحمه الله تعالىialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini beliau رحمه الله تعالى juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara hamba-hamba Alloh عزوجل yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia kepada Alloh سبحانه وتعالى dan berakhlaq mulia kepada hamba-hamba Alloh تعالى .
Berakhlaq mulia kepada Alloh سبحانه وتعالى yaitu senantiasa ridho terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Alloh تعالى mentaqdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim, maka hendaknya dia ridho terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya: رضيت بالله ربًّأ(rodhiitu billaahi Robban) ‘Aku ridho Allohsebagai Robb’. Apabila Alloh سبحانه وتعالى menetapkan keputusan hukum syar’i kepadanya maka, dia menerimanya dengan ridho dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan syari’at Alloh عزوجل Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna berakhlak mulia terhadap Alloh عزوجل .
Saudaraku yang budiman. Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini:
Yang pertamaكَفُّ اْلأذى (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya. Kemudian yang keduaبَذْلُ النَّدَى (memberikan kebaikan yang dimiliki): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya. Dan yang ketiga:طَلَقَةُ الوَجْهِ (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi. Inilah husnul khuluq.
Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk juga husnul khuluq . Bahkan jika seorang muslim mengharapkan pahala dari Alloh سبحانه وتعالى atas kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Alloh سبحانه وتعالى .
Nah saudaraku yang budiman, bagaimanakah berakhlak mulia kepada sesama? Di dalam sebuah ayat Alloh telah menghimpun beberapa kunci pokok, untuk bisa meraih akhlak yang mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya, niscaya akan merasakan kenikmatan buahnya. Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. ”(Surat al-A’roofayat 199)
Saudaraku yang budiman. Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq (akhlaq yang mulia)kepada sesama serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah dan pergaulan hidup mereka. Alloh عزوجل memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal:Pertama: Menjadi pema’af. Kemudian kedua: Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf. Dan yang ketiga adalah:Berpaling dari orang-orang yang bodoh.
Pengertian pema’af di sini luas. Pemaaf mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga dia tidak membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan mereka. Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi (berhubungan)dengan semuanya dengan lemah lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh. Saudaraku yang budiman, hendaknya kita bersikap baik kepada orang lain dengan mengajarkan ilmu yang kita miliki, menganjurkan kebaikan,menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua,mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu,memberikan bantuan dalam kebaikan dan ketakwaan,menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah (dunia).
Adapun yang dimaksud dengan “Berpaling dari orang-orang yang bodoh” yaitu tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan mereka. Jika mereka mengusik kita dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh maka hendaknya kita menyingkir. Kita tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka juga.Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan kita, maka hendaknya kta sambung hubungan dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi kita, maka hendaknya kita berbuat adil kepadanya. Dengan cara inilah kita akan memperoleh limpahan pahala dari Alloh عزوجل hati menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan cara ini juga, dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman.
Demikianlah pertemuan kita kali ini. والله ولي التوفيق . نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَرْزُقَنَاوَإِيَّاكُمْ الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

BERKATA BAIK ATAU DIAM

BERKATA BAIK ATAU DIAM


Hadits Berikut tentang Anjuran untuk berkata Baik atau lebih baik diam serta memuliakan tetangga serta tamu.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
[Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)

dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)

Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”.

Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.

Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.

Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.

Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)

Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.

Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.

Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.

Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.

Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

TINGGALKAN KERAGUAN


Hadits berikut tentang perintah untuk meninggalkan keraguan. Imam An-Nawawi memasukkan hadits ini kedalam salah satu hadits arba'in.



عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم وريحانته رضي الله عنهما قال حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم " دع ما يريبك إلى ما لا يريبك " رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu 'anhuma telah berkata : “Aku telah menghafal (sabda) dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu “.
(HR. Tirmidzi dan berkata Tirmidzi : Ini adalah Hadits Hasan Shahih)

[Tirmidzi no. 2520, dan An-Nasa-i no. 5711] 


Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Hadits ini kembali kepada pengertian Hadits keenam, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya banyak perkara syubhat”.

Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.

Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan.

Kamis, 17 April 2014

Menyingkirkan Kefakiran Dengan Beribadah Kepada Allah

Menyingkirkan Kefakiran Dengan Beribadah Kepada Allah


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِى أَمْلأْ صَدْرَكَ غِنًى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ وَإِلاَّ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَيْكَ شُغْلاً وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wassallam, beliau bersabda : "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman : "Wahai manusia, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan menutup (menyingkirkan) kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka niscaya Aku akan memenuhi kedua tanganmu (hari-harimu) dengan kesibukan (pekerjaan-pekerjaan) dan aku tidak akan menutupi kefakiranmu."
Takhrij Hadis:
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV/642 no.2466, Ibnu Majah II/1376, Ahmad II/358 no.8681, dan Ibnu Hibban II/119 no.393.
Hadis di atas derajatnya adalah shahih menurut Syaikh Nashirudin Al Albani.
Sedangkan menurut beberapa ahli hadis, fawaid hadis di atas adalah sebagai berikut :
Meluangkan waktu semata-mata untuk beribadah kepada Allah adalah suatu keharusan bagi setiap orang muslim.
Pasti ada kemudahan bagi orang yang berusaha keras untuk beribadah kepada Allah, dan pasti pula ada kesulitan berupa kesibukan-kesibukan bagi orang yang tidak ingin/menjauhi/malas untuk beribadah kepada Allah.
Kalau kita tidak memaksa diri untuk belajar ilmu syar'i sebagai bagian dari ibadah kita kepada Sang Kholik, tentunya pasti akan ada saja "kesibukan" yang merintangi dan menjauhkan kita dari majelis ilmu syar'i.
Berlindunglah kepada Allah dari was-was syaitan yang senantiasa berusaha melemahkan manusia yang ingin beribadah kepada Allah.
Pintu-pintu rezki itu akan dimudahkan manakala kita menjadikan waktu kita secara maksimal untuk beribadah hanya kepada Allah dan sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu'alaihi wassalam.
Adapun maksud hadis di atas sebenarnya bukan berarti setiap hamba Allah yang rajin beribadah kepada Allah pasti akan mendapat kekayaan berupa materi yang sangat berlimpah. Bukan berarti bagi setiap hamba yang ibadahnya rajin maka Allah akan menjadikan ia sekaya Bill Gates, Warren Buffet, atau katakanlah sultan dari Arab Saudi. Bukan, bukan itu maksudnya.

Tapi bagi kita hamba Allah yang selalu meluangkan waktu untuk memperbanyak ibadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-Qur'an, bersedekah, menyantuni anak yatim, berbakti kepada orang tua, memperbanyak sholawat dan bermacam-macam ibadah yang disunnahkan maka Allah akan mengurangi rasa cinta kepada dunia yang ada dalam hati kita dan menggantinya dengan ketenangan hidup dan rasa cukup akan rezeki serta memudahkan hati untuk bersyukur dalam setiap keadaan.

Memperbanyak ibadah juga erat hubungannya dengan datangnya rezeki, dalam al-Qur'an dan Hadis ada beberapa ibadah dan amalan yang secara khusus disebutkan mampu untuk menolak kefakiran dan mempermudah datangnya rezeki dan pertolongan Allah. Ibadah dan amalan-amalan tersebut insyaAllah akan dipaparkan dalam blog ini.

Macam-Macam Ibadah Yang Mempermudah Datangnya Rezeki
Secara umum jika seorang hamba menyibukkan diri dalam ibadah baik fardhu maupun sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan menyingkirkan kefakiran dari hamba tersebut. Namun ada pula beberapa macam ibadah dan amalan yang disebutkan secara khusus dalam al-Qur’an dan al-Hadis sebagai solusi dari masalah kerezekian. Secara singkat ibadah dan amalan-amalan tersebut antara lain :
Taubat & Istighfar
Taqwa kepada Allah
Tawakkal
Sholat Sunnah Dhuha
Shodaqoh
Silaturahmi
Doa
Membaca Ayat-ayat dan Surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an
Sholawat
Berbakti kepada Ibu dan Bapak
Sholat Tahajud
Berhijrah
Perbanyak syukur
Dan beberapa lainnya
Ibadah-ibadah sunnah di atas menurut beberapa ulama adalah penjabaran dari ayat 1000 dinar. Mengenai ayat 1000 dinar dan penjelasan secara lebih spesifik dari Ibadah-ibadah sunnah diatas insyaAllah akan dipaparkan lebih lanjut di artikel-artikel berikutnya.

Allah Berjanji Akan Menolong Hamba-Nya
Jika anda yang saat ini sedang mampir ke blog ini dengan tujuan mencari solusi Islami tentang problem kehidupan anda terutama yang berkaitan dengan rezeki, anda tidak perlu khawatir. Sekali lagi kami sampaikan tidak perlu khawatir, karena jika kita datang kepada Allah dengan merendahkan diri dan memohon pertolongannya, maka Allah PASTI bantu, walaupun memang kita tidak tahu bagaimana cara Allah akan menolong kita, karena cara Allah menolong kita memang bukanlah urusan kita. Kita cuma perlu tahu beres saja. Karena berdasarkan pengalaman hamba-hamba Allah, pertolongan Allah seringkali datang dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diduga-duga.
Allah sendiri menyatakan dalam Al-Qur'an : Allahu lathiifun bi 'ibadihi (Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya), seberapa besar pun masalah kita, jikalau Allah sudah berkata Kun faya kun, maka akan selesailah masalah itu. Karena tidak ada masalah yang begitu besar jika sudah di tangan Allah.

Satu hal yang telah kami rasakan sendiri ketika saya berusaha sedikit-demi sedikit belajar ilmu agama dan sedikit demi sedikit mulai memperbaiki ibadah dan menambah ibadah-ibadah sunnah, perasaan cinta kepada dunia perlahan-lahan mulai berkurang dan rasa syukur yang sebelumnya terasa sulit mulai terasa mudah. Ketika berusaha mencari rezeki pun yang sebelumnya dipenuhi rasa khawatir sudah mulai berganti perasaan optimis dan ikhlas.

Dan jika anda yang saat ini merasa tidak yakin akan kebenaran hadis di atas. Wajar saja. Saya pun pertama kalinya juga begitu. Bagi kita yang belajar ilmu logika materialistik, sangat sulit untuk menerima ibadah kok berkaitan dengan rezeki. Apa hubungannya? Sulit banget masuk logika. Tapi dulu ketika saya sudah kesulitan ikhtiyar kesana kemari tanpa hasil bertahun-tahun sampai hampir putus asa. Saya pasrahkan saja percaya kepada hadis ini. Saya acuhkan kondisi keuangan saya, dan iseng-iseng mulai memperbanyak ibadah. Eh selang beberapa bulan dapat sumber rezeki dari arah yang tidak diduga-duga. Pendapatan saya per bulan yang sebelumnya minus, jadi melonjak drastis. Alhamdulillah.. Ternyata Allah Maha Benar dan sungguh Maha Menepati Janji. Walaupun memang saya harus menunggu berbulan-bulan dengan perasaan harap-harap cemas. Itung-itung latihan bersabar lah.

Jadi anda pun yang muslim tidak perlu ragu akan hadis di atas. Karena Allah Maha Benar dan Maha Menepati Janji. Oleh karenanya mari kita bersama-sama mulai memperbaiki diri dengan bertaqwa kepada Allah. Mudah-mudahan kefakiran kita disingkirkan dengan berkah memperbanyak ibadah kepada Allah.


Wallahu a'lam bishowab

Mengenal Hakikat Rezeki Dalam Islam

Mengenal Hakikat Rezeki Dalam Islam


Sebenarnya postingan kali ini sesuai yang saya janjikan seharusnya masih membahas seputar ayat 1000 dinar. Namun rasa-rasanya sebelum membahas lebih jauh mengenai antara keterkaitan antara taqwa dan kerezekian ada baiknya kita membahas lebih dulu mengenai hakikat rezeki itu sendiri. Karena siapa tahu ada yang keliru dalam memahami soal rezeki dalam Islam sehingga mempercayai hal-hal yang sebenarnya tidak ada dalam Islam. Hal itu bisa menjadi takhayul dan khurafat dalam benak kita sebagai hamba Allah. Takhayul dan khurafat ini haruslah dibersihkan terlebih dahulu.


Takhayul Rezeki
Coba terangkan kepada saya.. Apa hubungannya antara cermin pecah dengan nasib seseorang?

Mungkin banyak dari anda akan berkata : tidak ada hubungannya..

Tapi coba anda mampir ke Inggris. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh The Betway Group, Pada tahun 2012 ada lebih dari sembilan juta orang di Inggris yang percaya bahwa jika anda memecahkan cermin kaca, maka anda akan sial selama tujuh tahun. Dan ada lebih dari 10 juta orang yang tidak ingin berjalan di bawah tangga karena takut bernasib sial.

Jika anda berkunjung ke Korea Selatan maka anda akan kesulitan menemukan panel tombol lantai nomor 4 dan 13 di dalam lift hotel-hotel paling internasional sekalipun. Di Korea anda pun akan jarang melihat orang yang memotong kuku pada malam hari. Konon katanya jika kita memotong kuku di malam hari, tikus akan memakan potongan kuku kita, dan mereka akan dapat berubah menjadi manusia, mengambil formulir, bahkan mencuri jiwa kita.

Jika anda mempercayai hal-hal tersebut di Indonesia, mungkin anda akan ditertawakan karena percaya kepada takhayul yang tak masuk akal. Walaupun Indonesia sendiri termasuk negeri dengan segudang takhayul.

Ngobrol tentang takhayul, sebenarnya ada pula takhayul dalam perihal rezeki. Takhayul ini berkembang dalam benak kaum muslim dan mengkaburkan akan kebenaran tentang masalah rezeki dalam Islam. Sebenarnya bagaimana Islam bicara tentang rezeki? Benarkah rezeki sudah ditentukan? Benarkah rezeki itu Allah yang mengatur? Apa saja rezeki yang diatur oleh Allah?

Melalui postingan kali ini, kita akan sedikit membahas mengenai hakikat rezeki dalam Islam. Bagaimana sesungguhnya penjelasan mengenai hakikat rezeki dalam Al-Qur'an.

Rezeki Ada Di Tangan Allah
Umat Islam sangat familiar dengan istilah "Rezeki ada di tangan Allah." Namun zaman sekarang sangat nampak bahwa pemikiran “Rezeki di tangan Allah” telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya. Pemikiran tersebut menjadi kosong dan bahkan tidak menjadi keyakinan bagi kebanyakan umat Islam saat ini. Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian berkembang khurafat dan takhayul dalam benak sebagian umat Islam. Pemikiran khurafat dan takhayul itu, antara lain :
Rizki tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rizki.
Rizki itu tergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, maka sudah pasti rizkinya akan lebih banyak, demikian juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan.
Rizki adalah materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya berkurang, di satu sisi  jumlah pembaginya bertambah, maka rizkinya akan berkurang.
Itulah pemikiran khurafat dan takhayul yang berkembang dalam benak kaum muslimin saat ini. Akibatnya, umat Islam saat ini menjadi umat yang materialistik dan cenderung menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman dan tidak berani amar ma'ruf nahi munkar karena khawatir akan kehilangan kedudukan dan hartanya. Jika mencari ilmu, belajar atau yang lain, juga tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan menjadi muslim yang taat serta bermanfaat, namun hanya semata-mata untuk meraih kenikmatan materi. Karena itu, ketika tujuannya telah tercapai, proses belajarnya akan berhenti. Sebab semuanya telah tercapai. Inilah pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang berkembang di benak sebagian besar kaum muslimin. Semuanya ini adalah debu-debu kotor yang harus dibersihkan dari  benak  mereka, sehingga makna pemikiran “rizki di tangan Allah SWT.” tersebut benar-benar jernih dan cemerlang.

Hakikat Rezeki Dalam Islam
Mengenai hakikat rizki harus difahami berdasarkan realitas makna lafaz dan syara’nya, baik yang diambil berdasarkan pengertian bahasa maupun syara’. Lafadz  ar-Rizq, dalam bahasa Arab berasal dari  Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti: A’tha-Yu’thiI’tha’(pemberian).

Jadi, secara etimologis ar-Rizq berarti pemberian.

Adapun menurut terminologis/istilah,"rizki adalah Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak."

Definisi “Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh)”  meliputi semua bentuk rizki;

    Halal & Haram
    Positif & Negatif
    Sehat & Sakit
    Cerdas & Tidak cerdas
    Cantik &  Jelek, dan sebagainya

Semuanya merupakan rizki.

Definisi ini menjelaskan, bahwa rizki berbeda dengan hak milik. Sebab, hak milik selalu memperhatikan cara, yaitu  syar’i atau  ghayr syar’i;

Jika  caranya  syar’i,  maka  hak miliknya halal
Jika ghayr syar’i, maka hak miliknya tidak  halal.

Tetapi, dua-duanya tetap disebut rizki. Definisi ini juga meliputi rizki yang diperoleh secara mutlak, baik tanpa usaha, seperti pemberian, waris, diyat, ataupun karena usaha, seperti bekerja, menjadi broker, atau yang lain, termasuk kerja yang diharamkan, seperti mencuri, merampok dan sebagainya. Semuanya ini bisa mendatangkan rizki meskipun kemudian ada yang halal dan haram.

Mengenai definisi "baik yang bisa dimanfaatkan maupun tidak” meliputi semua  bentuk rizki, baik yang positif maupun yang negatif, sekaligus menafikan rizki yang dianggap hanya sesuatu yang bisa dimanfaatkan saja.

Inilah makna pemikiran mengenai rizki, yaitu apa saja yang diberikan Allah SWT yang diperoleh oleh manusia.

Sekarang kita bicara dalil.
Dalam al-Qur'an, Allah SWT juga dinyatakan sebagai sebab bagi rizki manusia.

Allah SWT. berfirman :

“Dan di langit ada (sebab-sebab) rizki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi)  seperti  perkataan  yang  kamu  ucapkan.”  (Q.s. Adh-Dhâriyât; 22-23).

Belum pernah ada satu ayat pun yang menggunakan ta’kîd (penegasan) yang sedemikian kuat melebihi ayat rizki ini.

Pertama, penegasan kebenaran, bahwa rizki di tangan  Allah  (di  langit)  dan sebabnya hanya Allah, dengan menggunakan qasam (sumpah), yaitu Wa Rabbi as-Samâ’i Wa al-Ardh (demi Tuhan langit dan bumi).

Kedua, penegasan dengan menggunakan huruf ta’kîd, yaitu Innahu, yang berarti “sesungguhnya rizki”.

Ketiga, penegasan yang menggunakan huruf lam at-ta’kîd, yaitu Lahaqqun, yang artinya “benar-benar akan terjadi”.

Keempat, penegasan dengan menggunakan huruf ta’kîd, yaitu Innakum, yang artinya “sesungguhnya kamu”.

Kelima, penegasan  dengan menggunakan  lafadz: Tanthiqûn (kamu berbicara) dan bukan yang lain, yaitu antara lafadz: Tanthiqûn dengan Rizq disatukan dalam satu konteks kalimat, yang menunjukkan bahwa antara rizki dengan bicara tersebut mempunyai tempat yang sama, yang sekaligus menunjukkan hubungan antara rizki dengan mulut. Ini artinya, bahwa “Kalian tidak bisa berbicara dengan menggunakan mulut orang lain, selain mulut  kalian sendiri, maka kalian juga tidak bisa memakan rizki orang lain, selain rizki kalian sendiri.”

Karena itu, setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti  telah  Dia tetapkan rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan olehAllah SWT.:

“Dan  tidak  ada  satupun  hewan  melata  di  muka  bumi  ini,  kecuali  rizkinya  telah ditetapkan oleh Allah. Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (Q.s. Hûd: 6).

Ayat ini secara tegas memaparkan, bahwa tidak satu pun makhluk yang diberi kehidupan oleh Allah, kemudian dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki dari-Nya. Sebab, siapakah yang menjamin rezki manusia? Tentu bukan manusia, sebaliknya Allah. Maka, ketika ada orang tua yang takut keturunannya lahir tanpa  jaminan rizki, kemudian mereka membunuh keturunannya karena takut akan kelaparan, dengan tegas ketakutan tersebut dibantah oleh Allah:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. ” (Q.s. Al-Isrâ’: 31).

“...Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan juga kepada mereka...”  (Q.s. Al-An’âm: 151).

Melalui ayat ini, Allah SWT. ingin menjelaskan, bahwa rizki itu tidak bisa dihitung dengan angka matematika. Maka, ketika seseorang mempunyai gaji Rp.2,000,000 (dua juta rupiah)  dimakan seorang, akan  berubah  komposisinya ketika masih single, dengan ketika telah menikah, dimana angka di atas sebelumnya dibagi satu, menjadi dua, suami-isteri, dan jika mempunyai satu anak, akan berkurang  lagi menjadi  Rp.  666,000  per orang. Akhirnya muncul ketakutan dan rasa takut, karena jumlahnya berkurang. Akibatnya muncul  rasa  takut  menikah, mempunyai anak dan ketakutan-ketakutan yang lain. Inilah yang dibantah oleh Allah  SWT.  seakan ingin menyatakan: “Bukan kamu yang  menjamin rizki mereka, melainkan Akulah Yang menjamin  rizki mereka, juga rizki kamu.”Inilah yang dijanjikan oleh Allah SWT. Jaminan rizki tersebut telah diberikan  oleh Allah SWT. melalui orang tuanya atau melalui orang lain.

Ayat-ayat dan makna pemikiran rizki di atas memberikan gambaran, bahwa “rizki  di tangan Allah” adalah  pemikiran yang menjadi keyakinan dan wajib dimiliki oleh setiap orang Islam. Karena pemikiran tersebut  memang nyata adanya dan tidak kontradiksi dengan realitasnya. Orang yang mengingkarinya bisa jatuh kepada kekufuran.

Keyakinan mengenai “rizki di tangan Allah” tersebut meliputi keyakinan mengenai segala sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT. baik pemberian dalam bentuk materi, maupun non materi; baik berupa gaji ataupun bukan. Karena itu, bisa saja gaji seseorang kecil, tetapi rizkinya besar. Dengan  demikian, rizki  tidak tergantung pada jabatan dan kedudukan, dan tidak tergantung pada akal, ilmu  ataupun yang lain. Karena Allah telah memberikan rizki tersebut secara mutlak kepada siapapun. Tepat sekali  ungkapan penyair yang menyatakan:

Kalaulah rizki tergantung pada akal,
Tentu binatang-binatang telah binasa karena kebodohannya.

Jadi, rizki tersebut semuanya tergantung pada irâdah dan masyî’ah Allah SWT. saja, tetapi bukan berarti menafikan usaha manusia. Sebab, makna pemikiran “rizki di tangan Allah” adalah masalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Sedangkan masalah usaha agar “rizki di tangan Allah” tersebut sampai kepada manusia, adalah masalah hukum syara’. Dan ini merupakan dua wilayah yang berbeda. Yaitu, wilayah hati dan fisik. Karena itulah, maka usaha untuk memperoleh rizki hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim. Allah SWT. berfirman:

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah anugerah Allah.” (Q.s  Al Jumu’ah: 10)

Meskipun usaha merupakan kewajiban bagi tiap muslim untuk mendapatkan rizki agar sampai kepadanya, tetapi usaha ini bukanlah sebab yang memastikan datangnya rizki. Usaha hanyalah faktor-faktor kondisional (al-hâlah) yang harus diusahakan agar “rizki di tangan Allah” tersebut datang. Artinya, jika seseorang bekerja, belum tentu mendapatkan rizki. Jika demikian, siapa yang menjadi sebab rizki? Tentu hanya Allah SWT. Firman Allah SWT.:

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizki kalian, dan terdapat apa yang telah dijanjikan kepada kalian.” (Q.s. Adh-Dhâriyât: 22).

Sebahagian ulama’ ada yang mengaitkan sebab rizki tersebut dengan tawakkal kepada Allah SWT. Ini artinya, bahwa sebab rizki ini adalah Allah SWT. Karena itu yang menentukan banyak dan sedikitnya rizki adalah keyakinan seseorang kepada Allah sebagai ar-Razzâq (Maha Pemberi Rizki), sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits Nabi saw.:

“Jika kalian bertawakkal dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia telah memberi rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.” (H.r. At-Tirmidzi dan Ahmad).

Jadi, meskipun rizki tersebut ditentukan oleh Allah, dan usaha manusia tidak mempengaruhi besar dan kecilnya rizki, tetapi usaha tetap merupakan faktor yang menentukan halal dan haramnya rizki yang diberikan oleh Allah SWT. Karena itu, mengapa ada perbedaan antara rizki dengan pemilikan rizki. Setiap muslim wajib berusaha mencari rizki dengan usaha yang bisa mengantarkannya pada hasil yang halal. Meskipun hakikat rizki yang halal dan haram tersebut sama-sama dari Allah SWT., tetapi status halal dan haram tersebut adalah manusialah yang menentukan. Yaitu dengan mendapatkan rizki berdasarkan pemilikan yang sahih berdasarkan ketentuan Islam.

Karena itu, manusia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah karena cara memperolehi rizkinya; apakah bertentangan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah atau tidak? Demikian halnya pertanggungjawaban atas pemanfaatan rizki yang diberikan kepada manusia; apakah untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah atau tidak? Sebab, semuanya ini merupakan wilayah aktivitas manusia yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Hanya manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban karena sedikit atau banyaknya, atau karena baik dan buruknya, atau karena positif dan negatifnya rizki yang diberikan kepadanya. Sebab, masalah ini merupakan wilayah Allah, dan bukannya wilayah manusia.

Demikian penjelasan mengenai hakikat rezeki dalam Islam semoga dapat menjadi manfaat bagi kita umat Islam. Inilah yanga perlu kita pahami terlebih dahulu sebelum melaksanakan amalan pembuka pintu rezeki menurut Islam.

Wallahu a'lam bishowab

Memahami Hakikat Tawakkal Dalam Islam

Memahami Hakikat Tawakkal Dalam Islam


Pada artikel ini kita akan meninjau kembali pemahaman tawakkal kita. Apakah kita sudah memahaminya seperti yang dipahami oleh generasi pertama dalam Islam, yaitu generasi para sahabat, dan sudahkah kita melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari? Amal ibadah ini pun sebenarnya masuk ke dalam amalan pembuka pintu rezeki. Namun sebelum kita membahas lebih spesifik masalah tersebut, kita akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian tawakkal.



Definisi Tawakkal
Tawakkal berasal dari lafadz Tawakkala, Yatawakkalu, Tawakkulan, yang berarti menjadikan pihak lain sebagai wakîl, atau zat yang mewakili diri seseorang dalam urusan tertentu. Ia adalah lafadz yang diambil dari lafadz wakâlah. Ada juga orang yang menggunakan: Wukkila Amruhû Ilâ Fulân (urusannya diserahkan kepada Fulan). Orang yang diserahi urusan tersebut bisa disebut Wakîl, sedangkan orang yang menyerahkan urusan disebut Muttakil ‘Alayh dan Mutawakkil ‘Alayh, yaitu ketika orang tersebut merasa puas pada pihak yang mewakilinya, mempercayainya, dan tidak mempunyai persepsi bahwa pihak yang mewakilinya itu mempunyai kekurangan. Artinya, orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa pihak yang mewakili tersebut tidak mempunyai kelemahan atau kekurangan. Itulah pengertian tawakkal secara etimologis.

Tawakkal ini merupakan ungkapan kalbu kepada al-Wakîl (Zat Yang Maha Kuasa untuk mewakili segala urusan). Atau dengan kata lain, ia merupakan kepasrahan hati secara bulat pada Allah terhadap kemaslahatan yang ingin diraih serta mudarat yang ingin dihindari, baik dalam masalah dunia maupun akhirat. Al-Alûsi mendefinisikan tawakkal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada yang lain, serta merasa cukup hanya kepada-Nya dalam melakukan aktivitas yang diperlukannya. Karena itu,al-Ghazâli menjelaskan:

“Keadaan orang yang bertawakkal pada Allah adalah seperti keadaan bayi dengan ibunya. Bayi tidak pernah mengetahui yang lain, serta tidak pernah menyerahkan urusannya kecuali pada ibunya. Ibulah orang yang pertama kali dia bayangkan ketika dia membayangkan yang lain. Ini artinya dia tidak bisa berdo’a dan meminta kepada yang lain, selain Allah. Yang pertama kali dimintai pertolongan adalah Allah, karena keyakinannya pada kemuliaan dan kasih sayang-Nya.” (Mukhthshar Ihya Ulumuddin)

Jika kita menyakini, bahwa di balik kekuatan manusia, alam dan kehidupan tersebut ada Zat Yang Maha Kuasa, yang menguasai seluruhnya, yang mampu membantu kita merealisasikan cita-cita kita, maka pemahaman ini akan mampu membangkitkan keyakinannya dalam merealisasikan seluruh cita-cita. Dengan pemahaman seperti ini, seseorang akhirnya merasa  tidak terbatas, karena dia berkeyakinan bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang bisa membantunya untuk mencapai apa yang ingin diraihnya.

Inilah konsepsi tawakkal yang telah difahami dengan benar oleh kaum muslimin generasi pertama. Mereka memahami konsep tersebut dengan pemahaman yang benar, sehingga mampu melakukan tuntunan tawakkal tersebut dengan benar. Mereka akhirnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dan memecahkan berbagai masalah yang sangat sulit. Berbeda dengan kaum muslimin saat ini, terutama setelah  budaya materialistik dan hedonistik berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga mereka menjadi pragmatis. Tidak mengenal dan memahami konsep berserah diri kepada Allah dan pemahamannya menjadi lemah. Mereka jauh dari pemahaman yang benar mengenai konsep berserah diri, sehingga keyakinan tawakkal mereka ibarat ungkapan kosong yang tidak berarti. Karena tidak berarti maka sulit untuk menerapkannya dalam aktivitas sehari-hari.

Orang yang tidak beriman pada Allah SWT dan tidak punya konsep tawakkal saja bisa mempercayai, bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang sering mereka sebut sebagai kekuatan alam, yang bisa membantu mereka, sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Ketika mereka bisa mencapai hal-hal besar yang hampir mustahil, mereka sering menyebutnya sebagai miracle (mukjizat).

Lalu mengapa umat Islam yang mempunyai keyakinan kepada Allah banyak yang tidak seperti mereka? Padahal orang atheis yang tidak percaya pada Tuhan, dan tidak punya konsep tawakkal bisa melakukan seperti itu? Maka, masalahnya adalah karena mafhûm tawakkal umat ini memang sangat lemah. Karena itu, pemikiran mengenai tawakkal ini merupakan pemikiran yang perlu diluruskan.

Pemikiran Keliru Tentang Tawakkal
Pemikiran keliru yang pertama tentang tawakkal adalah "bahwa dengan tawakkal maka kita tidak perlu lagi berikhtiar. Atau berikhtiar ala kadarnya. Pemikiran seperti ini banyak sekali di benak masyarakat Islam."

Barangkali banyak yang terpengaruh dengan sebuah hadis yaitu “mengikat unta” yang disalahtafsirkan. Hadits ini justru difahami bahwa dengan tawakkal seseorang tidak perlu lagi melakukan hukum kausalitas atau tidak menjadikan hukum sebab-akibat sebagai bagian dari tawakkal sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hadits tersebut dipahami sebagai pembenaran bahwa setelah bertawakkal seseorang tidak perlu lagi berikhtiar.

Padahal yang benar adalah sebaliknya, ikhtiar dengan tawakkal harus berjalan ber-iringan. Jadi tidak benar kalau kita menggantungkan atau menyerahkan urusan kita kepada Allah, lalu kita bisa bersantai-santai atau berharap Allah akan menyelesaikannya untuk kita tanpa ada usaha dari pihak kita.

Tawakkal kepada Allah SWT. telah dinyatakan dengan tegas oleh nash al-Qur’an yang qath’i. Allah SWT berfirman:

“Jika kamu ditolong oleh Allah, maka tidak akan ada yang mampu mengalahkan dan menghinakan kamu. Maka, siapakah yang dapat menolong kamu setelah (pertolongan) Allah? Dan kepada Allahlah orang-orang yang beriman hendaknya bertawakkal.” (Q.s. Ali Imrân: 160).

“Dan jika kamu mempunyai azam, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.”  (Q.s Al-Imrân:159).

“Katakanlah (Muhammad): ‘Kami tidak akan ditimpa musibah, kecuali apa yang telah Allah tetapkan kepada kami. Dialah Zat Yang menjadi Pelindung kami. Dan kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal”.  (Q.s. Taubah: 51).

“Allah (adalah Tuhan), tiada Zat yang berhak disembah kecuali Dia, kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal.”  (Q.s.  At-Taghâbun: l3).

Itu semua merupakan ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan, bahwa melakukan tawakkal kepada Allah itu wajib. Semuanya disertai dengan indikasi yang tegas, yaitu adanya pujian Allah kepada orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya, sebagai orang-orang yang Dia cintai. Disamping dalil-dalil di atas, juga ada dalil-dalil dari hadits yang mewajibkan kaum muslimin melakukan tawakkal kepada Allah, antara lain:

“Akan masuk surga dari kalangan umatku tujuh puluh ribu kelompok tanpa dihisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mencuri, menjadi peramal, memuji dirinya dan orang-orang yang bertawakkal kepada Tuhannya.”
(H.R. Bukhâri dari Ibn Abbâs).

“Jika kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberikan rizki kepada kamu sama seperti memberikannya kepada burung yang berangkat pagi dengan perut kosong kembali dengan kenyang.”
(H.R. At-Tirmidzi dan Ahmad).

Dengan adanya dalil-dalil di atas, seorang muslim tidak boleh ragu dalam bertawakkal kepada Allah SWT. Apabila ada orang yang tidak mau melakukannya berarti tidak mau menjalankan perintah Allah dan akan jatuh kepada dosa. Apalagi dalam perintah tawakkal kepada Allah tidak ada pengecualian, ia diperintahkan secara mutlak, sehingga setiap muslim wajib bertawakkal kepada-Nya tanpa terkecuali. Adapun hadits Nabi SAW. yang menyatakan:

“Ikatlah untamu, dan bertawakkallah (kepada Allah). . (HR Ibnu Hiban)

Hadits tersebut adalah hadits yang membahas kewajiban melakukan hukum sebab-akibat bersama-sama dengan kewajiban bertawakkal kepada Allah SWT. Isi yang lebih panjang mengenai hadits tersebut adalah berikut :

Badui bertanya,“Apakah unta itu dibiarkan saja depan pintu seraya bertawakkal kepada Allah? Ataukah harus diikat  dahulu supaya tidak hilang?” Beliau saw. menjawab: “Ikatlah dan bertawakkal (kepada Allah)."  (HR Ibnu Hiban)

Jadi, hadits di atas justru mengajarkan kepada orang Badui ini agar melakukan hukum sebab-akibat disamping bertawakkal kepada Allah SWT. Dengan kata lain, tidak cukup hanya bertawakkal kepada  Allah saja, sedangkan hukum sebab-akibatnya ditinggalkan. Adapun hukum sebab-akibat yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah “mengikat unta supaya tidak hilang”. Jika unta tadi tidak diikat pasti akan lari dan  hilang. Inilah pelajaran yang dikehendaki oleh Nabi saw. kepada orang Badui tersebut.

 Pemikiran keliru yang kedua tentang tawakkal adalah,"Ikhtiar dulu, tawakkal belakangan."

Masih ada satu masalah yang banyak diperdebatkan oleh kaum muslimin; apakah tawakkal kepada Allah SWT dilakukan sebelum melakukan ikhtiar atau sebaliknya? Ada sebagian orang yang menggunakan hadits “Mengikat unta dan tawakkal” tersebut sebagai dalil untuk bekerja dahulu baru kemudian bertawakkal. Mereka melihat urutan dalam hadits tersebut, yaitu “Ikat dahulu dan bertawakkallah.” dimana pernyataan Nabi: “ikat dahulu” adalah wujud sebuah ikhtiar, sedangkan “bertawakkallah” adalah wujud sikap tawakkal kepada Allah SWT. Maka, hadits tersebut kemudian banyak difahami : ikhtiarlah dahulu lalu menyusul tawakkal.

Pemahaman seperti itu perlu dikoreksi kembali.

Pertama, tema pembahasan hadits tersebut adalah tentang pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban melakukan hukum sebab-akibat, bukan kewajiban bertawakkal.

Sementara jika ada nash  tertentu yang menjelaskan tema pembahasan tertentu berdasarkan sebab wurûd atau sebab nuzûl-nya, maka nash tersebut tidak bisa digunakan untuk menjelaskan makna lain, selain tema pembahasan tersebut.

Kedua, huruf waw dalam lafadz I`qilha wa tawakkal (ikatlah dan berserahdirilah) yang dianggap sebagai waw tartîb (yang menunjukkan urutan perintah) sesungguhnya bukan merupakan huruf waw tartîb, sehingga tidak bisa diartikan “ikhtiar dahulu, baru kemudian bertawakkal”.

Ketiga, jika hadits diatas diartikan seperti yang banyak diasumsikan orang, yaitu ikhtiar dahulu kemudian bertawakkal, maka pengertian tersebut pasti bertentangan dengan ayat al-Qur’an, yang secara qath’i menerangkan:

“Apabila kamu mempunyai azam, maka bertawakkallah kepada Allah.”  (Q.S. Ali Imrân: 159).

Dari ayat tersebut didapati bahwa Allah secara tegas menerangkan, bahwa “azam’, “tawakkal” dan “ikhtiar” itu dilakukan secara bersama-sama. “Azam” dan “tawakkal” keduanya merupakan perbuatan hati, sementara “ikhtiar” adalah perbuatan fisik.”

Dengan demikian cara melakukan tawakkal yang sesuai dalil adalah dengan : azam, tawakkal dan ikhtiar secara berbarengan. Jika kita sudah memiliki azam, maka selanjutnya kita bertawakal kepada Allah. Maka dari itu tawakkal selalu menyertai ikhtiar kita di awal ikhtiar, di tengah ikhtiar sampai akhir dari ikhtiar kita. Sambil kita berikhtiar fisik, batin kita senantiasa bertawakal kepada-Nya. Karena ikhtiar itu aktivitas lahiriyah, sementara tawakkal itu aktivitas batiniyah. Keduanya berjalan secara berbarengan satu sama lain.

Dengan pemahaman seperti ini, maka umat Islam akan kuat dalam meraih cita-cita yang ingin dicapainya. Dan semakin tenang hatinya karena ia menyerahkan urusan kepada Zat yang sebaik-baik diserahi urusan. Demikian pembahasan masalah tawakal ini. Mengenai pembahasan tawakkal dengan rezeki secara spesifik insyaAllah akan dipaparkan pada lain kesempatan.

Wallahu a'lam bishowab