Senin, 28 Juli 2014

ORANG YANG PALING DEKAT DENGAN RASULULLAH SAW DI HARI KIAMAT

ORANG YANG PALING DEKAT DENGAN RASULULLAH SAW DI HARI KIAMAT


Saudaraku rohimaniyallohu wa iyyakum. Dalam rubrik percikan Iman kali ini kita akan mempelajari bersama tentang orang yang pali dekat dengan Nabi صلى الله عليه وسلم di hari Qiyamat.
Diriwayatkan dari Jabir رضي الله عنه bahwa Rosululloh صلى الله عليه وسلمbersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun. ” Sahabat berkata: “Ya Rosululloh… kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab,“Orang yang sombong. ” (Hadits riwayat Al-Imam At-Tirmidzi.Hadits ini dishohihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shohih Sunan At-Tirmidzi)
Saudaraku yang budiman. Di dalam hadits ini Rosululloh صلى الله عليه وسلم menerangkan bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak kita semakin mulia, niscaya kedudukan kita di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau صلى الله عليه وسلم dibandingkan selain kita. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi صلى الله عليه وسلم pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin رحمه الله تعالىmenerangkan bahwa ma’na tsartsarun adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majlis, dia sering menyerobot pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majlis itu selain dia. Dia berbicara, tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud majlis dalam konteks ini adalah pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majlis ilmu atau pengajian. Sebab jika suatu saat kita mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka lalu kita sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin رحمه الله تعالى menerangkan bahwa maknamutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain, seolah-olah dia adalah orang paling fasih. Itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam. Sebab kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab. Seandainya kita mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab, maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan. Adapun jika kita sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu, maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka tidak selayaknya kita berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi hendaknya kita berbicara dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami, dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing. Artinya janganlah kita menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan. Saudaraku yang budiman, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin رحمه الله تعالى juga menerangkan makna mutafaihiqun: Nabi صلى الله عليه وسلمtelah menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah-olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang dibuat-buat –pent) karena adanya kesombongan di dalam dirinya. Perilaku ini tidak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela. Wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta,kedalaman ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Alloh سبحانه وتعالى ,seyogyanya dia merendahkan hati (tawadhu’).
Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta,ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam sebuah hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak bicara oleh Alloh سبحانه وتعالى dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara mereka adalah:“Orang miskin yang sombong”. Sebab orang miskin tidak mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong…. Sudah semestinya orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Alloh سبحانه وتعالىsemakin meningkatkan syukurnya kepada Alloh سبحانه وتعالى serta semakin tambah tawadhu’ kepada sesama.
Saudaraku yang budiman rohimaniyallohu wa iyyakum. Demikianlah pertemuan kita kali ini, tentang orang yang paling dekat dekat dengan Nabi صلى الله عليه وسلم di hari qiyamat. Insya Alloh kita akan berjumpa kembali dalam edisi dan kesempatan berikutnya. Semoga Alloh سبحانه وتعالى memberikan taufiq kepada kita semua untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik,dan semoga Alloh عزوجل menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang jelek, sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia . والله ولي التوفيق . نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَرْزُقَنَاوَإِيَّاكُمْ الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ

MENELADANI AKHLAQ AS-SALAFUSH- SHOLIH



MENELADANI AKHLAQ AS-SALAFUSH- SHOLIH


Saudaraku rohimaniyallohu wa iyyakum. Dalam rubrik percikan Iman kali ini kita akan mempelajari bersama tentang Meneladani Akhlaq As-Salafush-Sholih.
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang keimanan. ” (Hadits riwayat Al-Imam Al-Bukhori dan Muslim dari Abu Huroirairoh رضي الله عنه , dan ini lafazh Muslim).
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Alloh di mana saja engkau berada. Dan ikutilah perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang baik. ”(Hadits riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari Abu Dzar رضي الله عنه ).
Ibnu Rojab al-Hanbali رحمه الله تعالى mengatakan, “Rosululloh صلى الله عليه وسلم menyebutkan perintah berakhlak secara terpisah, dikarenakan kebanyakan orang mengira bahwa ketakwaan itu hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Alloh سبحانه وتعالى dan tidak berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…” “Dan orang yang menunaikan hak-hak Alloh تعالى sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi dan orang-orang yang shidiq (benar) …” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikamhal. 237)
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh رضي الله عنه beliau رضي الله عنه berkata:Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga. Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Takwa kepada Alloh dan akhlaq mulia. ” Beliau صلى الله عليه وسلم juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau صلى الله عليه وسلمmenjawab, “Mulut dan kemaluan. ” (Hadits riwayat Al-Imam Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi رحمه الله تعالى membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush Sholihin yang berjudul Bab Husnul Khuluq(Akhlaq mulia). Maksud penyusunan bab ini oleh beliau رحمه الله تعالىialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini beliau رحمه الله تعالى juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara hamba-hamba Alloh عزوجل yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia kepada Alloh سبحانه وتعالى dan berakhlaq mulia kepada hamba-hamba Alloh تعالى .
Berakhlaq mulia kepada Alloh سبحانه وتعالى yaitu senantiasa ridho terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Alloh تعالى mentaqdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim, maka hendaknya dia ridho terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya: رضيت بالله ربًّأ(rodhiitu billaahi Robban) ‘Aku ridho Allohsebagai Robb’. Apabila Alloh سبحانه وتعالى menetapkan keputusan hukum syar’i kepadanya maka, dia menerimanya dengan ridho dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan syari’at Alloh عزوجل Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna berakhlak mulia terhadap Alloh عزوجل .
Saudaraku yang budiman. Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini:
Yang pertamaكَفُّ اْلأذى (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya. Kemudian yang keduaبَذْلُ النَّدَى (memberikan kebaikan yang dimiliki): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya. Dan yang ketiga:طَلَقَةُ الوَجْهِ (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi. Inilah husnul khuluq.
Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk juga husnul khuluq . Bahkan jika seorang muslim mengharapkan pahala dari Alloh سبحانه وتعالى atas kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Alloh سبحانه وتعالى .
Nah saudaraku yang budiman, bagaimanakah berakhlak mulia kepada sesama? Di dalam sebuah ayat Alloh telah menghimpun beberapa kunci pokok, untuk bisa meraih akhlak yang mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya, niscaya akan merasakan kenikmatan buahnya. Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. ”(Surat al-A’roofayat 199)
Saudaraku yang budiman. Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq (akhlaq yang mulia)kepada sesama serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah dan pergaulan hidup mereka. Alloh عزوجل memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal:Pertama: Menjadi pema’af. Kemudian kedua: Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf. Dan yang ketiga adalah:Berpaling dari orang-orang yang bodoh.
Pengertian pema’af di sini luas. Pemaaf mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga dia tidak membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan mereka. Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi (berhubungan)dengan semuanya dengan lemah lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh. Saudaraku yang budiman, hendaknya kita bersikap baik kepada orang lain dengan mengajarkan ilmu yang kita miliki, menganjurkan kebaikan,menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua,mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu,memberikan bantuan dalam kebaikan dan ketakwaan,menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah (dunia).
Adapun yang dimaksud dengan “Berpaling dari orang-orang yang bodoh” yaitu tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan mereka. Jika mereka mengusik kita dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh maka hendaknya kita menyingkir. Kita tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka juga.Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan kita, maka hendaknya kta sambung hubungan dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi kita, maka hendaknya kita berbuat adil kepadanya. Dengan cara inilah kita akan memperoleh limpahan pahala dari Alloh عزوجل hati menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan cara ini juga, dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman.
Demikianlah pertemuan kita kali ini. والله ولي التوفيق . نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَرْزُقَنَاوَإِيَّاكُمْ الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

BERKATA BAIK ATAU DIAM

BERKATA BAIK ATAU DIAM


Hadits Berikut tentang Anjuran untuk berkata Baik atau lebih baik diam serta memuliakan tetangga serta tamu.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
[Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)

dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)

Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”.

Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.

Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.

Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.

Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)

Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.

Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.

Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.

Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.

Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

TINGGALKAN KERAGUAN


Hadits berikut tentang perintah untuk meninggalkan keraguan. Imam An-Nawawi memasukkan hadits ini kedalam salah satu hadits arba'in.



عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم وريحانته رضي الله عنهما قال حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم " دع ما يريبك إلى ما لا يريبك " رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu 'anhuma telah berkata : “Aku telah menghafal (sabda) dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu “.
(HR. Tirmidzi dan berkata Tirmidzi : Ini adalah Hadits Hasan Shahih)

[Tirmidzi no. 2520, dan An-Nasa-i no. 5711] 


Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Hadits ini kembali kepada pengertian Hadits keenam, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya banyak perkara syubhat”.

Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.

Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan.